Senin, Juni 16, 2008

Senin , 21 April 2008 ,
Hanya Efektif untuk Jangka Pendek
Operasi Pasar Tak Berpihak pada Petani
M Barir

BANDUNG, TRIBUN Tidak stabilnya harga bahan pokok yang terjadi akhir akhir ini adalah dampak kebijakan fiskal yang diambil oleh pemerintah masih bermasalah. Kebijakan operasi pasar dinilai hanya efektif untuk jangka pendek, tidak dapat mengatasi akar permasalahan, dan masalah harga tidak stabil itu bakal datang secara berulang selama akar permasalah tidak dibenahi.

"Kebijakan yang diambil itu menguntungkan atau hanya berpihak kepada importir dan pengusaha, tidak berdampak pada kesejahteraan para petani," kata pengamat ekonomi Unpad Ina Primiana Sagir di depan forum Perhimpunan Jurnalis Indonesia di Hotel Garden Permata Bidakara Bandung, Minggu (20/4).


Ketidakstabilan harga, kata Ina, terjadi bukan karena tidak efektifnya kebijakan moneter, melainkan karena ketidakberesan yang terjadi pada kebijakan fiskal dan sektor riil. Sementara itu, penyelesaian yang diambil pemerintah hanya bersifat jangka pendek.


Salah satu kebijakan pemerintah yang ditempuh saat ini adalah operasi pasar. Menurut Ina, efektivitas kebijakan operasi pasar itu hanya untuk jangka pendek. Selain itu, operasi pasar tidak berdaya memecahkan akar permasalahan terjadinya ketidakstabilan harga bahan pokok tersebut. Padahal, di sisi lain, kebijakan operasi pasar tersebut juga membutuhkan biaya yang cukup besar.


Meski pemerintah telah membuat kebijakan untuk mengatasi, masalah ketidakstabilan harga ini tidak pernah tertuntaskan dan terus terusan terjadi secara berulang. "Masih akan terjadi kenaikan harga di waktu yang akan datang karena akar permasalahannya tidak pernah terpecahkan," tuturnya.
Lalu, apa sebenarnya akar permasalahan yang terjadi sehingga harga bergerak tidak stabil? Ina menjelaskan, akar permasalahannya adalah tidak dimilikinya kemandirian pangan dan dalam memenuhi kebutuhan pangan ini Indonesia tergantung pada impor.


"Selain itu, adanya ketidaksiapan penyediaan input bahan baku dari dalam negeri dan ketidakpercayaan terhadap penyediaan bahan baku hasil produksi dalam negeri oleh pengusaha industri manufaktur kita," sambungnya. (mba)

Bulan Depan Inflasi Masih Berlanjut

Darajat Arianto

BANDUNG, TRIBUN - Dalam penanganan inflasi di Indonesia, stabilitas harga pangan menjadi penting. Terutama komoditas yang strategis seperti beras dan minyak goreng, diperkirakan mampu mengurangi tekanan inflasi.

Demikian disampaikan Dr Hartadi A Sarwono, Deputi Gubernur Bank Indonesia, dalam Workshop Perbankan Angkatan VIII yang diadakan Perhimpunan Jurnalis Indonesia dan Dewan Pers, di Hotel Permata Bandung, Sabtu (19/4).

Hartadi menuturkan, inflasi yang tinggi akhir-akhir ini terjadi pada kelompok bahan makanan seperti minyak goreng dan cabai merah, sandang (emas), dan makanan jadi (mi dan beras).
"Jadi, inflasi di bulan mendatang diperkirakan masih meningkat dan terjadi pada kelompok bahan makanan serta kelangkaan minyak tanah dan elpiji. Karena itu, penangannya akan efektif jika dilakukan pada sisi penawaran," tutur Hartadi.

Menurutnya, perhitungan yang dilakukan BI menyimpulkan stabilitas harga terutama komoditas strategis dapat mengurangi tekanan inflasi secara efektif.
Stabilnya harga beras dan minyak goreng, misalnya, dapat mengurangi tekanan inflasi, yakni inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) 2006 sebesar 6,6 persen dapat berkurang menjadi 4,9 persen dan IHK 2007 6,6 persen dapat berkurang menjadi 5,6 persen jika harga beras dan minyak goreng stabil.

Demikian halnya dengan pertumbuhan ekonomi yang melambat sebagai akibat perekonomian dunia dan harga komoditas dunia yang masih tinggi. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan I/2008 berpotensi lebih rendah dari perkiraan sebelumnya sebesar 6,35 persen. Hal ini juga dipengaruhi perlambatan permintaan domestik khususnya investasi.


Kenaikan harga berbagai komoditas baik langsung maupun tidak langsung dengan harga pangan dunia, tambah Hartadi, memicu ekspektasi inflasi yang lebih tinggi. Dengan perkembangan tersebut, inflasi IHK pada triwulan I/2008 tercatat 3,4 persen (quarter to quarter) atau 8,2 persen (year on year). (dar)